Fenomena #KaburAjaDulu: Antara Harapan dan Kekecewaan Generasi Muda Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial di Indonesia diramaikan dengan tagar #KaburAjaDulu. Ungkapan ini seakan menjadi simbol dari keresahan dan keinginan generasi muda untuk meninggalkan tanah air demi mencari peluang yang lebih baik di luar negeri. Fenomena ini mencerminkan kompleksitas persoalan yang dihadapi generasi muda Indonesia dalam menghadapi tantangan masa depan.
Tagar #KaburAjaDulu tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari berbagai kekecewaan terhadap kondisi sosial, politik, dan ekonomi dalam negeri. Banyak anak muda merasa tidak dihargai secara layak, baik dalam dunia pendidikan maupun dunia kerja. Minimnya lapangan pekerjaan, rendahnya upah minimum, hingga sistem pendidikan yang dianggap tidak relevan dengan kebutuhan industri menjadi alasan utama di balik keinginan untuk "kabur."
Bagi sebagian orang, "kabur" bukan berarti lari dari tanggung jawab, melainkan bentuk perjuangan untuk hidup yang lebih layak. Mereka percaya bahwa dengan merantau ke luar negeri, baik untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan, mereka bisa membuka jalan yang lebih baik bagi masa depan diri dan keluarga mereka. Tidak sedikit pula yang berharap bisa kembali suatu hari nanti dan berkontribusi secara positif bagi bangsa.
Namun, di sisi lain, fenomena ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Jika generasi muda terbaik Indonesia lebih memilih pergi dan menetap di luar negeri, maka siapa yang akan membangun negeri ini? Brain drain, atau migrasi tenaga kerja terampil, menjadi ancaman nyata bagi kemajuan bangsa. Pemerintah pun harus memikirkan strategi jangka panjang agar generasi muda tidak merasa harus "kabur" untuk meraih sukses.
Faktor ekonomi jelas menjadi penyumbang terbesar. Gaji rendah di sektor formal seringkali tidak sebanding dengan biaya hidup yang terus meningkat. Sementara itu, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan bidang studi sangat terbatas. Banyak sarjana yang akhirnya bekerja di bidang yang tidak sesuai, bahkan menjadi pengangguran terselubung.
Selain itu, ketidakpastian politik dan rendahnya kepercayaan terhadap institusi pemerintah turut memperparah situasi. Banyak anak muda merasa tidak didengar dan tidak diberi ruang untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik. Akibatnya, muncul sikap apatis dan keinginan untuk mencari sistem yang lebih adil dan transparan di luar negeri.
Meski begitu, tidak semua orang mendukung gagasan "kabur." Banyak pula yang menyerukan agar anak muda tetap bertahan dan memperjuangkan perubahan dari dalam. Mereka percaya bahwa dengan bersatu dan menyuarakan aspirasi secara konstruktif, perubahan yang diidamkan bisa terwujud.
Organisasi masyarakat sipil, komunitas startup, hingga gerakan sosial lokal mulai bermunculan sebagai wadah bagi anak muda untuk berkontribusi nyata. Lewat platform digital, mereka menyuarakan isu-isu penting, mengembangkan inovasi sosial, dan menciptakan lapangan kerja baru yang lebih inklusif.
Fenomena #KaburAjaDulu bukan sekadar tren sesaat. Ia adalah refleksi dari keresahan mendalam generasi muda yang mendambakan masa depan lebih baik. Tantangan ini seharusnya menjadi cermin bagi para pengambil kebijakan untuk menciptakan ekosistem yang lebih adil, merata, dan mendukung aspirasi anak muda. Dengan begitu, mereka tak perlu lagi memilih untuk pergi, tapi bisa merasa bangga membangun negeri sendiri.